Wednesday, June 27, 2012

Rsra dan Cintanya yang Hilang



“APA HIDUP ITU ADIL?” Tanyaku pada langit yang luas namun tetap membisu.
            “TOLONG JAWAB AKU! APA IYA MANUSIA DICIPTAKAN UNTUK DIPISAHKAN?” sekali lagi aku berteriak kencang penuh luapan emosi. Langit masih beku, aku berada di atap rumahku malam ini. Kepalaku pening dan hatiku terbakar sempurna dengan berbagai pertanyaan mengembara di dalam hatiku.
            Satu minggu berlalu semenjak kematian ibu dan ayahku. Kabar yang begitu mendadak yang membuatku ingin mati saat itu juga. Luka itu masih jelas bertengger di aliran darahku.
            “Ra, kamu harus pulang sekarang cepat!” Bu Meisha tetanggaku menelponku yang saat itu dalam pelajaran fisika.
            “Tapi ada apa?” tanyaku penuh tanda tanya.
            “Kamu cepat sampai, itu akan lebih baik. Sekarang bergegaslah.” Ucapnya pendek. “Klik!” telpon dimatikan.
            Tiba-tiba saja hatiku resah tak karuan. Bayangan mama dan papa yang akan ku jemput nanti sore setelah menjenguk nenek di Medan menari-nari cemas. Entahlah, segera ku singkirkan segala pikiran buruk itu. Lantas aku membereskan bukuku dan segera pulang. “Tidak akan ada sesuatu yang terjadi. Bu Meisha Cuma orang lebay, gak ada apa-apa. Santai Ra. Santai, tetep positif thingking.”
            Aku sampai di depan gangku yang sudah penuh oleh orang berbaju hitam. “Tidak, tidak mungkin.” Mbok Inem yang meninggal mungkin, sergahku menyingkirkan pikiran buruk itu. Namun semua itu terasa percuma saat aku mendapati justru rumahku yang sesak oleh para tetangga.
            “Tes..” bulir bening menetes begitu cepat. “Bu, Yah.. ini bukan sungguhan kan? Semua hanya permainan kan?” pandanganku lurus pada dua sosok manusia dingin didepanku. Aku sungguh tak dapat berkata-kata lagi. Ya, kebahagiaanku terenggut begitu saja dengan kecelakaan mobil yang saat itu juga menewaskan ayah dan ibu. Entah siapa yang akan bertanggungjawab. Entah bagaimana aku, entahlah, entah, entah.. teriakku perih.
Malam semakin larut, bintang bersinar menebarkan titik-titik cahaya menawan. Sangat indah, namun hatiku terlanjur perih. Aku memejamkan mataku. “Tuhan, tolong aku, jawab pertanyaanku. Apa ini adil untukku? Aku salahku? Bagaimana aku akan melanjutkan hidupku? Atau aku harus menyusul ibu dan ayah? Karena aku tak punya siapa-siapa lagi Tuhan..” lirih aku bersuara.

Aku terus menyepi sendiri dalam gelapnya malam, tak peri, aku sungguh tak ingin beranjak dari atap rumah ini, aku hanya ingin ditemani bulan dan titik-titik bintang juga bersama luka perihku. Tatapanku lurus ke depan, kosong.
***
Dua minggu aku masih saja begini, hidupku sungguh menyedihkan. Aku tidak sekolah, aku makan dua suap saja, tak mandi dan tak ingin melakukan apapun. Aku hanya disini, di atap rumah dengan kesendirianku.
Untuk apa aku sekolah jika tak ada ayah dan ibu? Siapa pula yang akan aku tunjukkan tinta emasku nanti? Aku hanya ingin menatap langit, pagi, siang, senja dan malam. Ibu, ayah aku ingin kau peluk lagi.
Tiba-tiba seseorang muncul dari belakangku, ia tersenyum sangat manis. Sepertinya ia manusia yang paling bahagia. Aku melihatnya kecut, cuih ini sungguh tak adil bagiku, anak paling sedih sedunia.
“Rara, kehilangan adalah suatu hal yang sangat wajar dalam kehidupan. Semua orang pasti mengalaminya, namun tak lantas..”
“Siapa kau berani-beraninya mengajariku arti kehilangan? Apa kau tak melihat bagaimana menderitanya aku kehilangan cinta dari orang yang sangat ku kasihi?” potongku tak sabaran.
“Namun tak lantas hidup ini berakhir. Hidup merupakan sebuah perjalanan panjang, dalam sebuah perjalanan semua tak akan seperti yang kita harapkan. Ada kalanya kita terjatuh namun saat kita terjatuh kita akan belajar untuk lebih hati-hati lain kali. Ada pula kala kita kehabisan bekal, maka itu kita harus berusaha mencari makanan lain untuk tetap bertahan hidup, bukan justru diam dan pasrah menunggu datangnya makanan. Meski semua terasa buntu karena tidak ada lagi jalan didepan kita, tapi sungguh masih ada kesempatan kita mencari jalan lain untuk kembali, kembali melakukan perjalanan itu.”
“Tapi mengapa harus aku yang dipilih untuk kehilangan ibu dan ayah? Saat aku sangat membutuhkan mereka. Membutuhkan cintanya.”
“Kehilangan orang yang kita sayangi tak lantas menghilangkan cinta mereka. Kehilangan adalah pembuktian cinta kita kepadanya, seberapa besar cinta itu membuat kita bertahan dalam kesendirian. Kehilangan adalah kekuatan dalam kepayahan, menumbuhkan sisa asa untuk tumbuh subur kembali. Kehilangan hanya akan membuat secara fisik kita tak lagi bertemu, tak bertemu orang yang kita cintai. Bukan tak bertemu dengan diri kita, tidak akan menjadikan diri kita hilang ditelan kehilangan. Sungguh kehilangan adalah kesederhanaan yang perlu kau rangkum dalam goresan kebaikan yang penuh.”
Hatiku bergetar, iya sungguh aku telah kehilangan diriku selama ini. Sebenarnya apa yang aku cari dari kehilangan ibu dan ayah?
“Kau adalah makhluk pilihan Tuhan, kau sungguh anak yang manis yang Ia janjikan kebahagiaan suatu saat nanti atas usahamu. Bukan Tuhan tak sayang kepadamu, tapi justru Ia sangat mencintaimu.”
Ada desir halus yang mengalir pelan, menyejukkan. “Taappii, siapa kau?”
“Aku adalah langit yang selalu kau pandangi setiap waktu. Aku selalu melihat rona keikhlasan di wajah sendumu itu meski dengan keras kau katakan ‘Aku tak pernah menerima takdir ini’  namun jauh di ruang kecil hatimu kau selalu ikhlas atas apa-apa yang Tuhan berikan untukmu. Maka kembalilah, kembalilah kepada keikhlasan,” ia pergi hilang.
Aku memandangnya jauh, langit. Sungguh aku tak pernah menyangka kau begitu memperhatikan anak sendu ini. Dan aku baru menyadari banyak cinta yang terhampar luas, aku akan mencarinya dalam keikhlasan dan kesederhanaan.
Lalu aku berdiri tegak diatas genting, dengan berbagai harapan dan mimpi kecilku. Meski belum sepenuhnya hati ini menerima, tapi aku ingin membuktikan cintaku pada ibu dan ayah, tentunya aku tak ingin mengecewakan Tuhan yang telah memilihku.
Aku semakin tinggi, bersiap seperti ingin terbang bersama mimpiku. Namun kaki ini tak sampai menyentuh atap. Kakiku tergelincir, tubuh ini melayang bersama mimpiku. Tubuh ini makin dekat dengan tanah, satu detik, dua detik, “Tuhan, andai aku harus mati aku ingin mati bersama mimpiku.”


Cerpen @Marbels edisi 2 tp 2011-2012

dan....

Subhanallah, makasih ya Allah seneng aja bisa nulis cerpen dan dapet tanggapan positif. cuma mikir aja gimana berkarya kedepannya. syemangat


 

No comments:

Post a Comment