“APA HIDUP ITU ADIL?” Tanyaku pada
langit yang luas namun tetap membisu.
“TOLONG
JAWAB AKU! APA IYA MANUSIA DICIPTAKAN UNTUK DIPISAHKAN?” sekali lagi aku
berteriak kencang penuh luapan emosi. Langit masih beku, aku berada di atap
rumahku malam ini. Kepalaku pening dan hatiku terbakar sempurna dengan berbagai
pertanyaan mengembara di dalam hatiku.
Satu
minggu berlalu semenjak kematian ibu dan ayahku. Kabar yang begitu mendadak
yang membuatku ingin mati saat itu juga. Luka itu masih jelas bertengger di
aliran darahku.
“Ra,
kamu harus pulang sekarang cepat!” Bu Meisha tetanggaku menelponku yang saat
itu dalam pelajaran fisika.
“Tapi
ada apa?” tanyaku penuh tanda tanya.
“Kamu
cepat sampai, itu akan lebih baik. Sekarang bergegaslah.” Ucapnya pendek. “Klik!”
telpon dimatikan.
Tiba-tiba
saja hatiku resah tak karuan. Bayangan mama dan papa yang akan ku jemput nanti
sore setelah menjenguk nenek di Medan menari-nari cemas. Entahlah, segera ku
singkirkan segala pikiran buruk itu. Lantas aku membereskan bukuku dan segera
pulang. “Tidak akan ada sesuatu yang terjadi. Bu Meisha Cuma orang lebay, gak
ada apa-apa. Santai Ra. Santai, tetep positif thingking.”
Aku
sampai di depan gangku yang sudah penuh oleh orang berbaju hitam. “Tidak, tidak
mungkin.” Mbok Inem yang meninggal mungkin, sergahku menyingkirkan pikiran
buruk itu. Namun semua itu terasa percuma saat aku mendapati justru rumahku
yang sesak oleh para tetangga.
“Tes..”
bulir bening menetes begitu cepat. “Bu, Yah.. ini bukan sungguhan kan? Semua
hanya permainan kan?” pandanganku lurus pada dua sosok manusia dingin
didepanku. Aku sungguh tak dapat berkata-kata lagi. Ya, kebahagiaanku terenggut
begitu saja dengan kecelakaan mobil yang saat itu juga menewaskan ayah dan ibu.
Entah siapa yang akan bertanggungjawab. Entah bagaimana aku, entahlah, entah,
entah.. teriakku perih.
Malam semakin larut, bintang bersinar
menebarkan titik-titik cahaya menawan. Sangat indah, namun hatiku terlanjur
perih. Aku memejamkan mataku. “Tuhan, tolong aku, jawab pertanyaanku. Apa ini
adil untukku? Aku salahku? Bagaimana aku akan melanjutkan hidupku? Atau aku
harus menyusul ibu dan ayah? Karena aku tak punya siapa-siapa lagi Tuhan..”
lirih aku bersuara.
Aku terus menyepi sendiri dalam
gelapnya malam, tak peri, aku sungguh tak ingin beranjak dari atap rumah ini,
aku hanya ingin ditemani bulan dan titik-titik bintang juga bersama luka
perihku. Tatapanku lurus ke depan, kosong.
***
Dua minggu aku masih saja begini,
hidupku sungguh menyedihkan. Aku tidak sekolah, aku makan dua suap saja, tak
mandi dan tak ingin melakukan apapun. Aku hanya disini, di atap rumah dengan
kesendirianku.
Untuk apa aku sekolah jika tak ada
ayah dan ibu? Siapa pula yang akan aku tunjukkan tinta emasku nanti? Aku hanya
ingin menatap langit, pagi, siang, senja dan malam. Ibu, ayah aku ingin kau
peluk lagi.
Tiba-tiba seseorang muncul dari
belakangku, ia tersenyum sangat manis. Sepertinya ia manusia yang paling bahagia.
Aku melihatnya kecut, cuih ini sungguh tak adil bagiku, anak paling sedih
sedunia.
“Rara, kehilangan adalah suatu hal
yang sangat wajar dalam kehidupan. Semua orang pasti mengalaminya, namun tak
lantas..”
“Siapa kau berani-beraninya
mengajariku arti kehilangan? Apa kau tak melihat bagaimana menderitanya aku
kehilangan cinta dari orang yang sangat ku kasihi?” potongku tak sabaran.
“Namun tak lantas hidup ini berakhir.
Hidup merupakan sebuah perjalanan panjang, dalam sebuah perjalanan semua tak
akan seperti yang kita harapkan. Ada kalanya kita terjatuh namun saat kita
terjatuh kita akan belajar untuk lebih hati-hati lain kali. Ada pula kala kita
kehabisan bekal, maka itu kita harus berusaha mencari makanan lain untuk tetap
bertahan hidup, bukan justru diam dan pasrah menunggu datangnya makanan. Meski semua
terasa buntu karena tidak ada lagi jalan didepan kita, tapi sungguh masih ada
kesempatan kita mencari jalan lain untuk kembali, kembali melakukan perjalanan
itu.”
“Tapi mengapa harus aku yang dipilih
untuk kehilangan ibu dan ayah? Saat aku sangat membutuhkan mereka. Membutuhkan
cintanya.”
“Kehilangan orang yang kita sayangi
tak lantas menghilangkan cinta mereka. Kehilangan adalah pembuktian cinta kita
kepadanya, seberapa besar cinta itu membuat kita bertahan dalam kesendirian.
Kehilangan adalah kekuatan dalam kepayahan, menumbuhkan sisa asa untuk tumbuh
subur kembali. Kehilangan hanya akan membuat secara fisik kita tak lagi
bertemu, tak bertemu orang yang kita cintai. Bukan tak bertemu dengan diri
kita, tidak akan menjadikan diri kita hilang ditelan kehilangan. Sungguh
kehilangan adalah kesederhanaan yang perlu kau rangkum dalam goresan kebaikan yang
penuh.”
Hatiku bergetar, iya sungguh aku
telah kehilangan diriku selama ini. Sebenarnya apa yang aku cari dari
kehilangan ibu dan ayah?
“Kau adalah makhluk pilihan Tuhan,
kau sungguh anak yang manis yang Ia janjikan kebahagiaan suatu saat nanti atas usahamu.
Bukan Tuhan tak sayang kepadamu, tapi justru Ia sangat mencintaimu.”
Ada desir halus yang mengalir pelan,
menyejukkan. “Taappii, siapa kau?”
“Aku adalah langit yang selalu kau
pandangi setiap waktu. Aku selalu melihat rona keikhlasan di wajah sendumu itu
meski dengan keras kau katakan ‘Aku tak pernah menerima takdir ini’ namun jauh di ruang kecil hatimu kau selalu
ikhlas atas apa-apa yang Tuhan berikan untukmu. Maka kembalilah, kembalilah
kepada keikhlasan,” ia pergi hilang.
Aku memandangnya jauh, langit.
Sungguh aku tak pernah menyangka kau begitu memperhatikan anak sendu ini. Dan
aku baru menyadari banyak cinta yang terhampar luas, aku akan mencarinya dalam
keikhlasan dan kesederhanaan.
Lalu aku berdiri tegak diatas
genting, dengan berbagai harapan dan mimpi kecilku. Meski belum sepenuhnya hati
ini menerima, tapi aku ingin membuktikan cintaku pada ibu dan ayah, tentunya
aku tak ingin mengecewakan Tuhan yang telah memilihku.
Aku semakin tinggi, bersiap seperti
ingin terbang bersama mimpiku. Namun kaki ini tak sampai menyentuh atap. Kakiku
tergelincir, tubuh ini melayang bersama mimpiku. Tubuh ini makin dekat dengan
tanah, satu detik, dua detik, “Tuhan, andai aku harus mati aku ingin mati
bersama mimpiku.”
Cerpen @Marbels edisi 2 tp 2011-2012
dan....
Subhanallah, makasih ya Allah seneng aja bisa nulis cerpen dan dapet tanggapan positif. cuma mikir aja gimana berkarya kedepannya. syemangat
No comments:
Post a Comment